Jumat, 30 Januari 2009

BMT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Di Tulis Kembali Pada 30 Januari 2009 oleh M. ALi Ma'sum,SE Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, jumlah penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori miskin tercatat sebanyak 36,17 juta jiwa (16,7 persen). Kriteria miskin tersebut berdasarkan konsumsi masyarakat di bawah Rp 123.000 per bulan. Dengan asumsi sebesar itu, maka buruh yang mendapatkan upah sebesar Rp 450.000 per bulan sesuai dengan KHM (Kebutuhan Hidup Minimum), tidak termasuk dalam kategori miskin. meskipun sesungguhnya mereka adalah kelompok kaum dhu’afa.Berbeda dengan kriteria BPS, catatan International Labour Organization (ILO), menunjukkan bahwa penduduk yang berpenghasilan di bawah Rp 1 juta per bulan, dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Sebab, ILO memasukkan sejumlah komponen seperti kebutuhan pendidikan, kesehatan, rekreasi dan kebutuhan lainnya (KHL, kebutuhan hidup layak). Seandainya BPS menggunakan kriteria miskin berdasarkan standar ILO, tentu jumlah penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin akan meningkat dua sampai tiga kali lipat dari angka yang disebutkan BPS, atau sekitar 100 juta jiwa. Untuk mengurangi kemiskinan yang demikian menggurita, diperlukan sebuah gerakan nyata dan implementatif. Salah satu upaya strategis untuk mengentaskan kemiskinan tersebut adalah melalui Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah yang disebut Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Lembaga keuangan ini telah terbukti dapat memberdayakan masyarakat kelas paling bawah (grass root) secara signifikan. Dalam satu dasawarsa pertama (1995 - 2005), di Indonesia telah tumbuh dan berkembang lebih dari 3.300 BMT, dengan asset lebih dari Rp 1,7 triliun, melayani lebih dari 2 juta penabung dann memberikan pinjaman terhadap 1,5 juta pengusaha mikro dan kecil. BMT sebanyak itu telah mempekerjakan tenaga pengelola sebanyak 21.000 orang. (Data Pinbuk, 2005). Sekedar contoh, perlu dikemukakan di sini beberapa Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (BMT) yang telah berkembang, antara lain, BMT Dinar di Karang Anyar memiliki asset Rp 31.milyard, jauh mengalahkan BPR Syari’ah manapun di sumut. Demikian juga BMT Ben Taqwa di Jawa Tengah, assetnya mencapai Rp 30 milyar, BMT Bina Usaha Sejahtera (di Lasem Jawa Tengah) Rp 28 milyar, BMT MMU (di Pasuruan Jatim) Rp 17 milyar, BMT Marhamah (Wonosobo), Rp 13 milyard, BMT Tumang (di Boyolali) Rp 4 milyard, BMT Baitur Rahman (di Bontang, Kaltim), Rp 6 milyar, BMT PSU Malang, Rp 5,6 milyar, dan banyak lagi BMT yang berasset di atas Rp 10 milyar, seperti di Yogyakarta. Kesuksesan BMT di Jawa dan Kalimantan tersebut perlu diteladani masyarakat muslim Sumatera Utara, agar gerakan pemberdayaan ekonomi ummat dapat diwujudkan. Konsep BMT di Indonesia sudah bergulir lebih satu dekade. Konsep ini telah banyak mengalami pembuktian-pembuktian dalam ‘mengatasi’ dan mengurangi kemiskinan. Peran lembaga ini untuk mengurangi angka kemiskinan sangat strategis, mengingat lembaga perbankan belum mampu menyentuh masyarakat akar rumput (fakir, miskin dan kaum dhu’afa lainnya). Akses mereka terhadap perbankan sangat kecil, bahkan hampir tak ada sama sekali. Mereka juga tidak punya agunan dan tidak pandai membuat proposal. Peran strategis BMT dalam mengurangi kemiskinan terlihat dari kegiatan ekonomi BMT yang mempunyai kegiatan sosial (Baitul Mal) dan kegiatan bisnis (at-Tamwil). Kegiatan sosial ekonomi BMT dilakukan dengan gerakan zakat, infaq sedeqah dan waqaf. Hal ini merupakan keunggulan BMT dalam mengurangi kemiskinan. Dengan menggunakan dana ZISWAF ini, BMT menjalankan produk pinjaman kebajikan (qardhul hasan).Kegiatan sosial BMT ini dapat disebut sebagai upaya proteksi atau jaminan sosial yang dapat menjaga proses pembangunan masyarakat miskin secara signifikan, sebagaimana dinyatakan Amartya Sen (2000). Proteksi sosial ini menjamin distribusi rasa kesejahteraan dari masyarakat yang tidak punya kepada masyarakat yang punya. Di sinilah BMT berperan sebagai agent of asset distribution yang mampu memberdayakan ekonomi ummat. Fungsi sosial BMT ini, sekaligus akan dapat menciptakan hubungan harmonis antara dua kelas yang berbeda. Dengan adanya pola pinjaman sosial (qardhul hasan) semacam ini, maka BMT tidak memiliki resiko kerugian dari kredit macet yang dialokasikan untuk masyarakat paling miskin, karena produk qardhul hasan, bersifat non profit oriented,Jika BMT sebagai Baitul Mal berfungsi sebagai lembaga sosial, maka BMT sebagai Baitul Tamwil berfungsi sebagai lembaga bisnis yang profit oriented. Dalam menjalankan fungsi ini, BMT memberikan pembiayaan dengan konsep syariah, antara lain mudharabah dan musyarakah (bagi hasil), jual beli (murabah, salam, istisna’) dan ijarah (sewa), rahn (gadai), dsb. Konsep bagi hasil untuk sebagian besar rakyat Indonesia merupakan konsep ‘lama’ dan sudah menjadi bagian dari proses pertukaran aktivitas ekonomi masyarakat. Kegiatan bisnis yang dijalankan BMT jauh lebih unggul dari BPR (Bank Perkreditan Rakyat), karena BMT tidak saja bergerak dalam usaha simpan pinjam di sektor finansial, tetapi juga dapat menjalankan usaha sektor riil secara langsung.Dua keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia (terutama di daerah perdesaan) dewasa ini. Dua sisi pengelolaan dana (Baitul Maal dan Baitul Tamwil) ini seharusnya berjalan seiring, jika salah satu tidak ada maka konsep tersebut menjadi pincang dan menjadi tidak optimal dalam pencapaian tujuan-tujuanya.Karena itu, tidak ada alasan saat ini bagi pemerintah daerah, hartawan muslim, ulama dan cendikiawan muslimuntuk tidak membangun dan mengembangkan BMT. Mereka seyogianya membangun BMT di setiap kecamatan, kalau perlu di kelurahan. BMT sebagai lembaga ekonomi dan keuangan mikro syariah memiliki ciri-ciri: Pertama, BMT merupakan lembaga ekonomi yanag mandiri yang mengakar di masyarakat, Kedua, didirikan dengan semangat kejamaahan, yaitu semangat kekeluargaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar lokasi masyarakat sendiri. Ketiga, Bentuk organisasinya sangat sederhana, Keempat, Para pendiri BMT minimal berjumlah 20 orang sebagaimana pada koperasi biasa. Kelima, BMT dikelola oleh manajer profesional yang dilatih untuk mengelola BMT. Keenam, sistem operasi BMT telah disiapkan sebelumnya dalam bentuk manual atau pedoman kerja yang baku dan serupa antara BMT se-Indonesia. Ketujuh, BMT memiliki lembaga supervisi yang membina secara teknis pembukuan dan manajemen BMT, yaitu PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). Penutup Lahirnya suatu BMT yang berdaya dan profesional, akan memungkinkan terwujudnya BMT sebagai Agent Of Community Development (agen pembangunan masyarakat) dan Agent Of Asset Distribution (agen distribusi asset dari yang punya kepada yang tidak punya). BMT tumbuh sebagai institusi yang mampu memberdayakan umat, utamanya mengangkat derajat kaum dhuafa, menciptakan kesempatan kerja yang luas, membangun jaringan bisnis dan media pemerataan hasil pembangunan dan mampu menyediakan jasa keuangan yang efektif dan efisien bagi nasabah dan masyarakat.

4 Dimensi BMT

Ditulis kembali pada 30 Januari 2009 oleh M. Ali Ma'sum, SE
Pendahuluan
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. Pinbuk (1995) menyatakan bahwa BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah dan koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu : Pertama, Baitul Maal menjalankan fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwil menjalankan fungsi menghimpun simpanan dan membiayai kegiatan ekonomi rakyat dengan menggunakan Sistem Syariah. Beberapa ahli mendefenisikan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga. Suhadi Lestiadi (1998), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan alternatif adalah suatu lembaga pendanaan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, di mana proses penyaluran dananya dilakukan secara sederhana, murah dan cepat dengan prinsip keberpihakan kepada masyarakat kecil dan berazaskan keadilan. Dengan cara pandang dan pengertian lembaga pendanaan tersebut, maka BMT Dikelompokkan ke dalam koperasi jasa keuangan yang diartikan sebagai koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif. Di dalam peranannya sebagai Baitul Taamwil, kinerja BMT lebih difokuskan kepada kegiatan yang bersifat produktif, sehingga tidak mustahil di dalam suatu Cashflow, BMT termasuk dalam kategori produser, konsumen, distributor dan sirkulator. Empat kegiatan ini adalah suatu kegiatan rill yang dilakukan dalam kegiatan ekonomi. Kerangka tersebut penulis istilahkan dengan Dimensi BMT sebagai produser, konsumen, distributor dan sikulator. Dimensi BMT sebagai produser, konsumen, distributor dan sirkulator
A. BMT Sebagai Produser Sebagian penulis tentang teori ekonomi Islam berpendapat bahwa ekonomi Islam hanya memfokuskan perhatian kepada distribusi harta, dan tidak mementingkan masalah produksi. Dengan kata lain, ekonomi Islam hanya memperhatikan distribusi harta secara adil dan merata, namun sama sekali tidak berhubungan dengan produksi. Perkataan ini tidak sepenuhnya benar. Jika yang dimaksud dengan “produksi” adalah sarana, prasarana, dan cara kerja secara umum, maka ungkapan di atas dapat diterima. Namun, jika yang dimaksud dengan produksi adalah tujuan, etika, dan peraturan yang berhubungan dengan produksi, maka ungkapan di atas sulit diterima. Di dalam ilmu ekonomi, proses produksi terbagi kepada – setidaknya - dua bentuk, Pertama Pengadaan Stok Barang. Dalam proses produksi barang, barang dapat diciptakan dengan menggunakan tenaga manusia atau mesin. Pada saat sekarang ini biasanya dilakukan oleh Perusahaan – Perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi barang. Kedua Penyediaan Stok Jasa. Jasa adalah sesuatu yang ditawarkan kepada pasar, dengan tujuan mempermudah kegiatan manusia dari segi non fisik (tidak berupa benda). Hal ini biasa dilakukan oleh para Biro jasa seperti Biro Perjalanan, Advokasi dan lain sebagainya. Dalam proses pertama, BMT tidak mungkin menciptakan stok barang, karena BMT hanya lembaga keuangan mikro yang berasaskan syariah dan bergerak dibidang finansial. Tetapi tidak tertutup kemungkinan kalau BMT dapat melakukan proses produksi dengan cara yang kedua, yakni menyediakan jasa. Hal ini bisa saja terjadi karena fungsi BMT adalah sebagai basis penyediaan jasa keuangan dengan prosedur yang sesuai dengan prinsip syariah yang berlandaskan kepada al-Quran dan sunnah. Artinya, fungsi Baitul Maal dari BMT (penjaringan dana Zakat, Infak dan Sedekah) adalah sebuah jasa yang disediakan BMT untuk memudahkan orang - orang kaya untuk menunaikan kewajibannya kepada Allah, yang kemudian oleh BMT akan disalurkan kepada kaum dhuafa yang membutuhkan. Sedangkan fungsinya sebagai Baitul Taamwil, BMT memberikan bantuan pendanaan untuk aktivitas perekonomian umat dalam skala kecil. Untuk fungsi BMT yang satu ini, ada beberapa produk yang ditawarkan oleh BMT kepada nasabah, diantaranya adalah: Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing. Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak di mana pihak pertama (shahib al amal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill selama proyek berlangsung. Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar. Muzaraah, adalah dengan memberikan bibit tertentu (sesuai dengan kebutuhan penggarap) kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen. Wusaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen. Bai’u Bithaman Ajil, hampir sama dengan Murabahah, hanya saja pembayarannya di lakukan dengan mencicil. Ijarah Muntahia Bit Tamlik, adalah pembiayaan dengan akad sewa, di mana pada akhir masa perjanjian, BMT memberikan izin kepada penyewa untuk memiliki barang modal tersebut. Dengan menawarkan produk – produk yang berbasis syariah kepada masyarakat, secara tidak langsung BMT mencoba memberikan penawaran kepada masyarakat (calon nasabah/ anggota) untuk bisa memanfaatkan jasa keuangan yang berbasis syariah yang ditawarkan, dengan metode profit and lose sharing dalam pengelolaan rugi dan labanya. Di dalam proses ini, maka BMT adalah termasuk salah produser dalam penyediaan jasa keuangan yang berbasis syariah dengan skala mikro. Tujuannya adalah untuk mengimplementasikan sistem keuangan syariah yang sesuai dengan tata cara dan aturan permainan pengelolaan keuangan di dalam Islam.
B. BMT Sebagai Konsumen Mayoritas ahli ekonomi memfokuskan perhatiannya pada produksi. Mereka berusaha sekuat tenaga meningkatkan produksi serta memperbaiki kualitas serta kuantitasnya. Namun, bertambahnya hasil produksi tidak cukup untuk menciptakan manusia yang hidup aman dan sejahtera. Sebab, sangat mungkin produk ini baik sebagian atau bahkan seluruhnya digunakan untuk urusan yang tidak bermanfaat bagi manusia, merusak jiwa dan akal, serta tidak membahagiakan keluarga dan masyarakat. Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam. Namun, pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapi sarana untuk menikmati karunia Allah dan jalan untuk mewujudkan kemaslahatan umum, yang memang tidak sempurna kecuali dengan harta yang dijadikan Allah bagi manusia sebagai dasar pijakan. Memiliki harta untuk disimpan, diperbanyak, lalu dihitung-hitung adalah tindakan yang dilarang. Ia merupakan penyimpangan petunjuk Tuhan, sunnah mukmin, dan memungkiri keberadaan istikhlâf. Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi hingga terpenuhi segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang tersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir yang melampaui batas, maka cepat atau lambat, roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa pun terlambat. Ahli Ekonomi juga membatasi konsumsi hanya kepada golongan perusahaan (untuk kebutuhan barang/bahan baku), masyarakat/ owner (untuk kebutuhan pribadi) dan pemerintah (dalam belanja pemerintah). Sedangkan lembaga keuangan seperti Bank, Asuransi dan lain sebagainya hanya difokuskan kepada lembaga keuangan yang menyediakan dana segar untuk kebutuhan produksi dan investasi. Di dalam Islam, lembaga keuangan mempunyai tiga macam akad pembiayaan, Pertama Syirkah (Penyertaan/investasi dengan bagi hasil). Akad ini adalah bersifat umum. Tidak hanya di lembaga keuangan syariah saja, tetapi lembaga keuangan konvensional juga menggunakan sistem investasi (yang dalam istilah syariah Islam di sebut dengan syirkah/musyarakah). Yang membedakannya hanyalah instrumen dalam pengelolaan keuntungan. Kalau pada lembaga keuangan syariah instrumen yang digunakan adalah profit and lose sharing – dimana laba dan rugi sama-sama di tanggung – sedangkan pada lembaga keuangan konvensional menggunakan instrumen Interest (bunga) di mana pada tingkatan – tingkatan pinjaman dikenakan bunga yang harus dibayarkan oleh pihak debitur. Akad kedua yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah adalah Tijarah. Secara bahasa Tijarah memiliki pengertian jual beli. Dalam akad ini menghimpun beberapa produk lembaga keuangan syariah, di antaranya, Bai’u Bithaman Ajil, Murabahah, dan Mudharabah. Sebagaimana halnya jual beli, ada si penjual dan si pembeli. Posisi BMT dalam hal ini kita dudukkan sebagai pembeli, karena dalam posisi ini, BMT memiliki peran yang sangat signifikan dalam memenuhi pelayanan jasa akan penyediaan produk dan barang yang menggunakan akad tijarah. Dalam proses pemenuhan akad tijarah, BMT akan melayani kebutuhan masyarakat akan suatu barang, baik untuk kebutuhan pokok maupun untuk kebutuhan modal investasi, sehingga barang yang butuhkan sangat beragam. Mulai dari barang – barang yang membutuhkan dana yang tidak terlalu besar seperti beras, gandum dll, sampai kepada barang – barang yang membutuhkan dana yang besar atau mungkin sangat besar untuk mengadakannya, seperti pengadaan tanah untuk lahan garapan, mobil dan tidak tertutup kemungkinan gedung bertingkat sekalipun. Semuanya tergantung kepada permintaan dari anggota/nasabah dan daya beli dari BMT sendiri. Dalam kasus ini, maka BMT akan mencari dan menjalin hubungan dengan pihak lain yang disebut dengan mitra untuk dapat bekerjasama dalam pengadaan barang-barang tersebut. Kerjasama yang dijalin tentunya sesuai dengan syariat Islam, yaitu dengan akad jual beli pula. Dalam kerjasama dengan mitra tersebut, posisi BMT adalah sebagai konsumen. Artinya BMT memakai/membeli barang – barang yang tidak mungkin diciptakan sendiri kepada mitra mereka untuk kemudian di jual kembali kepada nasabah dengan akad tijarah. Akad yang ketiga adalah Ijarah. Ijarah memiliki makna sewa menyewa. Untuk akad ini, terhimpun setidaknya dua produk lembaga keuangan syariah, Ijarah dan Ijarah Munthahia Bit Tamlik. Untuk memenuhi kebutuhan akan produk ini, kembali kita posisikan BMT sebagai konsumen dari mitranya. Alasannya adalah kalau BMT memiliki stock barang yang akan disewakan, maka ia tidak akan menggunakan mitranya. Tetapi kalau BMT tidak memiliki barang yang diminta, ia akan kembali membeli barang kepada mitranya untuk kemudian disewakan kepada nasabah/ anggota. Alasan ini berlaku juga untuk pemenuhan kebutuhan BMT dalam akad Tijarah diatas.
C. BMT Sebagai Distributor Di antara bidang yang terpenting dalam perekonomian adalah bidang distribusi, sehingga sebagian penulis ekonomi Islam memusatkan perhatian-nya kepada bidang ini. Dalam sistem ekonomi kapitalis, perdagangan terpusat pada distribusi pasca produksi, yaitu setelah mereka menghasilkan barang untuk suatu proyek. Pandangan mereka terfokus kepada uang atau harga. Menurut paham ekonomi sosialis, produksi tunduk pada peraturan pusat. Seluruh sumber produksi adalah milik negara. Dasar distribusi barang ditetapkan oleh keputusan sidang di negara sosialis. Negaralah yang menyusun strategi produksi rakyat, juga menentukan garis-garis besar distribusi. Upah, gaji, bunga, laba, dan para manajer diatur oleh pemerintah. Kedua paham ekonomi terbesar dunia di atas hanya memfokuskan distribusi barang pasca produksi. Islam tentunya sangat berbeda dari kedua paham tersebut. Di dalam teori distribusi Islami, kajian tentang distribusi tidak hanya pada barang pasca produksi. Harta kekayaan yang dimiliki juga tidak terlepas dari teori distribusi Islami, seperti adanya hak orang-orang tidak mampu di dalam harta yang dimiliki, yang menyebabkan adanya distribusi harta untuk Zakat, Infak dan, Sedekah dan juga adanya hak ahli waris dalam menerima harta warisan dengan persentase yang telah ditentukan di dalam al-Quran dan Sunnah. Memfungsikan BMT sebagai distributor adalah mengembalikan fungsi sosial BMT di tengah-tengah masyarakat. Untuk mengembalikan fungsi tersebut, perlu di telaah beberapa hal, di antaranya: 1. BMT sebagai bentuk lembaga penjaringan dana Zakat, Infak, Sedekah (Baitul Maal) Adalah tugas dari BMT untuk menjaring dana – dana tersebut kemudian di distribusikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai dengan yang telah di atur dalam al-Quran yang diistilahkan dengan Ashnaf Delapan. Dalam posisi ini, BMT berfungsi sebagai pool dana dan distributor dana. Untuk lebih jelasnya, dapat d lihat pada gambar berikut: 2. BMT sebagai bentuk tolong menolong yang dilembagakan (Baitul Taamwil) Tolong menolong adalah suatu konsep dasar dalam setiap lembaga keuangan syariah, apakah ia berbentuk Asuransi, Bank maupun BMT sekalipun. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa adanya suatu yang lain yang membantunya dalam mendapatkan apa-apa yang dibutuhkannya untuk hidup. Suatu yang dimaksud di atas tidak lain dan tidak bukan adalah orang lain. Begitu juga hal BMT, suatu saat ia dapat menjadi penolong, suatu saat ia juga bisa berada pada posisi yang harus di tolong. Sebagaimana yang telah kita kaji di atas, bahwa akad yang di gunakan oleh BMT dalam operasionalnya ada tiga, Syrikah, Tijarah, dan Ijarah. Untuk akad ke dua dan ketiga, BMT akan membutuhkan mitra untuk mendapatkan barang – barang yang dibutuhkan dan diminta oleh anggota/nasabah. Ketika ia mendapatkan barang yang dibutuhkan dari mitranya (sebagai wujud BMT sebagai yang harus di tolong), maka ketika itu ia berposisi sebagai konsumen. Ketika ia menyalurkan/menjual barang – barang yang diperoleh kepada anggota/nasabah (sebagai wujud BMT sebagai penolong dan nasabah sebagai yang harus ditolong), ketika itulah posisi BMT menjadi distributor.
D. BMT Sebagai Sirkulator Sirkulasi adalah pendayagunaan barang dan jasa lewat kegiatan jual beli dan simpan pinjam melalui agen, koperasi, lembaga keuangan baik sebagai sarana perdagangan atau tukar-menukar barang. Sedangkan sirkulator adalah orang/ lembaga yang mendayagunakan barang dan jasa tersebut. BMT sebagai sirkulator adalah memfungsikan BMT sebagai aktor dari sirkulasi dan anggota/nasabah sebagai subjek serta barang dan jasa sebagai objek dari sirkulasi yang dilakukan. Prinsipnya dan operasionalnya sangat sederhana. Hal ini disebabkan karena kebanyakan BMT menggunakan akad Tijarah dalam produk-produknya. BMT dan Sektor Rill Di dalam operasionalnya, BMT sangat bersentuhan langsung dengan perekonomian masyarakat. Kegiatan yang dilakukan seperti yang telah dijelaskan di atas, adalah gambaran dari kedekatan BMT dengan sektor rill yang meminimalkan kegiatan spekulasi dan memaksimalkan kemampuan masyarakat dalam bidang produksi dengan pembiayaan – pembiayaan yang dilakukan, sesuai dengan produk – produk yang berlaku pada tiap – tiap BMT yang ada. Menjadikan BMT sebagai penggerak sektor rill adalah menjadikan BMT sebagai Pusat Unit Kegiatan Masyarakat, dengan mengaktifkan dan memfungsikan 4 dimensi BMT, yaitu Dimensi Produser, Konsumen, Distributor dan Sirkulator. Di mana BMT menjadi tumpuan harapan masyarakat berkenaan dengan masalah Investasi, Distribusi, dan Sirkulasi. Hal ini sedikit berbeda dengan konsep Koperasi Unit Desa (KUD). Perbedaannya hanya terdapat pada, jika KUD tidak melayani masalah investasi (pembiayaan produksi), maka BMT melayani kebutuhan masyarakat dari segi Investasi. Namun hal ini tidak akan terjadi apabila pemerintah setempat tidak menaruh perhatian pada perkembangan BMT dan perbankan syariah serta perkembangan ekonomi Islam. Jika pemerintah tidak menaruh perhatian pada lembaga ini, maka kita tidak bisa berharap banyak BMT dapat memperbaiki dan menggerakkan perekonomian dari sektor rill. Intinya, peran pemerintah juga sangat signifikan dalam menjadikan dan memposisikan BMT sebagai penggerak sektor rill. Daftar Referesi Anonim, Pedoman Cara Pembentukan BMT. Jakarta: Pinbuk, 1995 Karim, Adiwarman A., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga, Jakarta: Raja Wali Press, 2006 Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, penerjemah: Ahmadie Thoha Cet. III, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001 Lestiadi, Suhadji, Peranan Bank Muamalat Dalam Mengembangkan Lembaga Keuangan Alternatif, Jakarta, 1998 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil & Profit Margin di Bank Syariah, Jogjakarta, UII Press, 2004 Nasution, Mustafa Edwin dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2006 Situmorang, Jannes, Kaji Tindak Peningkatan Peran Koperasi Dan UKM Sebagai Lembaga Keuangan Alternatif, www.google.co.id/ 25 Desember 2007 Siregar Mulya E., dan Nasirwan, Tantangan Perbankan Syariah, www.shariahlife.wordpress.com/ 15 Januari 2008 Setiawan, Aziz Budi, Instrumen Ekonomi Syariah untuk Transformasi Masyarakat, http://www.google.co.id/ 15 Januari 2008 Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: GIP, 1997 Yulianti, Rahmani Timorita, Dimensi Humanitarian Dalam Sistem Ekonomi Islam, http://www.google.co.id/ 1